"Ah, sial. Aku harus cepat, nih. Nanti aku bisa telat". Aku menambah kecepatan motorku.
Dalam waktu kurang dari 15 menit, aku sudah sampai di depan sekolah. Tapi, usahaku untuk mengebut tadi sia-sia. Aku lemas ketika ku ketahui pintu besar yang terbuat dari besi itu sudah tertutup.
"Ah, gimana ini. Pintunya sudah ditutup". Gerutuku. Aku berjalan mendekati gerbang, berharap ada seseorang yang akan membukakannya.
"Pak, talong bukain pintunya!!". Kataku sedikit memohon. Aku berteriak pada salah satu dari orang yang berseragam itu melalui sebuah celah gerbang, yang juga biasanya digunakan untuk mengintip.
Salah seorang satpam itu berjalan mendekati gerbang. "coba kau lihat, jam berapa sekarang!". Tanyanya dengan nada tinggi.
"Ya, saya tau kok, pak. Saya memang terlambat. Ini udah lebih jam 7. Tapi ijinkan saya masuk, pak. Please... Saya janji, ga akan terlambat lagi". Kataku melas memohon.
"Tetap tidak bisa. Biarpun kamu merayu memohon, gerbang ini tidak akan saya buka. Ini sudah peraturan sekolah. Kalau saya langgar, nanti saya juga yang rumit". Ucapnya tegas.
"Tapi, pak. Sa..."
"Sudahlah, sebaiknya kau pulang saja. Tak ada gunanya kau berdiri di sini". Dia memotong ucapanku.
Satpam itu berjalan menjauh dari gerbang. Aku hanya berdiri lemas dan menghela nafas. Aku berteriak memanggil satpam itu. Tapi tidak digubrisnya. Ini semua gara-gara aku tidur terlalu malam, dan asik nonton sepak bola di tv. Jadinya begini.
"Pak.. Pak.. Tolong bukain pintu gerbangnya. Saya mau masuk!!"
Aku mendengar suara dari sebelahku. Sepertinya aku mengenali suara itu. Sesaat aku memperhatikannya. Ternyata benar, itu Gina. Ia berteriak mencoba masuk. Tangannya menggedor-gedor pintu gerbang.
"Gina". Sapaku. Sentak ia kaget dan menoleh ke arahku. Ia terlalu panik sehingga tidak menyadari keberadaanku.
Deg, jantungku mulai berdetak tak beraturan.
"Radit?!". Katanya kaget.
"Kau terlambat juga?". Tanyaku. Aku mulai mendekatinya.
"Ya.". Jawabnya sambil menganggukan kepala. Lalu ia mencoba berteriak dan menggedor-gedor gerbang lagi.
"Sudahlah, Gina. Hentikan itu. Percuma kau lakukan itu. Mereka enggak akan mendengarmu. Itu hanya akan melukai tanganmu dan suaramu jadi kelu". Kataku mencoba menenangkannya.
"Tapi.."
"Ya. Aku ngerti. Aku juga sudah melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan, tapi hasilnya sia-sia". Jelasku. Ku lihat ia lemas dan kecewa. Wajahnya tertunduk.
"Sudahlah. Sebaiknya kita pergi dari sini. Ayo ikut aku!". Ajakku. Aku menarik tangannya. Ia hanya diam saja.
Gina POV
"Ah, gawat. Aku kesiangan. Bisa-bisa aku telat!". Aku berlari keluar rumah.
"Pak, lebih cepat lagi, ya". Pintaku pada supir taksi. Ah, jalanan macet lagi.
"Macet, neng". Katanya. Dia celingukan mencari celah jalan yang tidak macet.
Setelah lama perjalanan, taksi yang membawaku telah sampai di depan sekolah. Aku cemas saat melihat gerbang sekolah sudah tertutup. Aku keluar dari taksi dan langsung berlari mendekati gerbang.
"Pak.. Pak.. Tolong bukain pintu gerbangnya. Saya mau masuk!!". Teriakku cemas sambil menggedor-gedor gerbang. Tapi satpam itu tidak menghiraukanku.
"Gina"
Terdengar suara yang memangilku. Sentak aku langsung menoleh ke arah asal suara.
"Radit!". Kataku kaget. Entah sejak kapan ia sudah berada di sini. Atau hanya aku saja yang tidak menyadarinya.
Ah, perasaan ini muncul lagi sama seperti saat di taman sekolah. Jantungku berdetak cepat. Seperti ada sesuatu yang menyambarku. Ada apa denganku?
"Kau terlambat juga?". Tanyanya sambil mendekatiku. Saat itu juga aku menjadi gugup.
"Ya.". Jawabku sambil menganggukan kepala. Lalu aku mencoba berteriak dan menggedor-gedor gerbang lagi.
"Sudahlah, Gina. Hentikan itu. Percuma kau lakukan itu. Mereka enggak akan mendengarmu. Itu hanya akan melukai tanganmu dan suaramu jadi kelu". Katanya. Aku terkejut dengan perkataannya. Dia peduli denganku atau ini hanya perasaanku saja.
"Tapi..."
"Ya. Aku ngerti. Aku juga sudah melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan, tapi hasilnya sia-sia". Dia memotong ucapanku. Aku lemas mendengarnya. Sepertinya dia benar, tidak akan bisa masuk. Aku tertunduk.
"Sudahlah. Sebaiknya kita pergi dari sini. Ayo ikut aku!". Ajaknya sambil menarik tanganku. Aku terkejut dengan apa yang ia lakukan. Dia memegang tanganku, genggaman tangannya terasa hangat dan nyaman. Perasaanku menjadi tak karuan. Jantungku berdegup semakin cepat. Dan anehnya aku pasrah mengikuti ajakannya.
"Kira-kira aku mau di bawa ke mana, ya?". Pikirku bingung. Aku di gandeng menjauhi gerbang dan menuju ke sebuah motor.
Saat di jalan, kita terdiam. Tak ada suara yang terlontar dari mulut kita. Entah kenapa tiba-tiba aku sudah memeluk Radit. Tanganku melingkar berpegang pada perutnya. Aku sangat menikmati ini. Hangat dan nyaman. Jantungku berdetak di atas normal.
Sepertinya Radit baru menyadari apa yang ku lakukan. Badannya bergerak-gerak. Sentak aku langsung melepas pelukanku.
"Kenapa kau melepas pelukanmu?". Tanyanya lirih. "Kalau kau merasa nyaman, lakukan lagi". Tambahnya. Tanpa berfikir panjang, aku memeluknya kembali.
"Emang kita mau ke mana?". Tanyaku penasaran.
"Pokoknya ke tempat yang sangat indah, pasti kau menyukainya". Katanya membuatku penasaran. Pikiranku melayang memikirkan tempat apa yang akan aku temui nanti.
Motor yang kami tumpangi melaju dengan cepat di jalan yang mungkin berukuran 4 meter itu. Ku pandangi banyak pepohonan tinggi di sekitar sini. Ku rasakan udaranya sangat sejuk. Dan di pinggiran jalan terdapat rumput-rumput hijau yang sedang berdansa mengikuti hembusan angin.
Sesaat udara menjadi terasa dingin, aku memeluk Radit semakin erat. Suasana menjadi semakin indah saat ku pandangi bunga-bunga yang penuh warna itu. Dan kami berhenti di sini.
Semua ini sangat takjub. Mataku terbelak tak henti-hentinya memandang keindahan ini. Badanku berputar menelusuri tempat ini.
"Ayo". Ajaknya. Dia menggandeng tanganku lagi. Aku menatapnya. Dia tersenyum manis. Ah, kenapa aku jadi lemah seperti ini?
Kita berjalan menyusuri jalan kecil yang di pinggirnya terdapat bunga-bunga yang cantik. Hingga kami sampai di sebuah kursi panjang berwana coklat tepat di bawah pohon. Dan di depannya terdapat hamparan danau yang luas dan airnya yang bening. Ah, indah sekali.
Radit POV
Ah, akhirnya sampai juga. Udara di sini memang sangat sejuk. Aku meregangkan tubuhku melepaskan semua penat. Aku memhela nafas panjang merasakan udara yang segar.
Ku lihat, Gina tak henti-hentinya memandangi tempat ini. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang sedari tadi berputar-putar. Sepertinya dia menyukai tempat ini.
Terpikirkan saat di perjalanan tadi. Ia memelukku dari belakang. Ah, sangat nyaman dan hangat. Membuat tubuhku bergetar karena perasaan.
"Ayo". Ajakku. Entah apa yang ku rasakan hingga aku tak malu-malu untuk memegang tangannya. Sentak ia langsung menatapku. Dan aku tersenyum manis.
Aku menariknya. Menuntunnya menyusuri jalan kecil yang menuju ke sebuah danau. Hingga terlihat sebuah kursi yang berada tepat di bawah pohon.
"Danau"
"Ya. Apa kau menyukainya?"
"Ya"
"Duduklah!"
Kita duduk di sebuah kursi yang berwarna coklat dan menghadap ke danau.
"Apa kau menyukai tempat ini?". Tanyaku lirih. Aku menatapnya tajam.
"Ya. Tempat ini sangat tenang, nyaman dan indah". Ujarnya. Ia menghindari tatapanku. Dan mengalihkan ke sekelilingnya.
"Apa kau sering ke tempat ini?". Tanyanya. Sepertinya ia mencoba menatapku.
"Ya. Aku sering ke sini. Kalau aku sedang sedih, kesepian atau hanya sekedar menenangkan diri.". Jawabku. Aku tersenyum.
Tempat ini memang sangat ramai dikunjungi orang. Tapi, tetap saja terlihat sepi. Sehingga tempat ini terasa tenang.
Kami bercerita, tertawa bersama. Dia bercerita sedikit tentang hidupnya. Begitu juga aku. Ya, Gina adalah anak dari pengusaha kaya. Dia anak tunggal. Sekarang ia duduk di kelas 1 SMA di sekolah yang sama tempat aku belajar. Tapi, aku sedikit mengganjal dengannya. Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Sama seperti saat aku melihatnya di taman sekolah. Meskipun ia terlihat bahagia, tapi wajahnya telihat sedang menyimpan masalah. Aku memang punya kelebihan yang bisa membaca penderitaan orang, hanya membaca bukan melihat(kurang lebih seperti itu). Tapi ini bukan sesuatu yang istimewa buatku. Ok, sepertinya aku berbohong.
Angin berhembus lirih. Menjadikan suasana kian nyaman. Ku pejamkan mataku sesaat untuk merasakan keadaan. Daun-daun berjatuhan menghujani kami. Desiran ombak kecil berlarian karena angin.
"Waktu di taman sekolah, kenapa kau terlihat sangat sedih? Seperti sedang memikirkan sesuatu". Tanyaku lirih. Ia menoleh kaget ke arahku. Ku lihat matanya penuh dengan kebingungan.
"Aku tidak memikirkan apa-apa". Jawabnya gugup. Dia memalingkan pandangannya. "Waktu itu aku hanya ingin sendiri". Tambahnya.
"Apa kau yakin?"
Ia hanya menganggukan kepala.
Mungkin memang ia tak ingin aku mengetahui masalahnya. Tapi nampak jelas, aku bisa merasakannya kalau ia sedang ada masalah, mungkin sangat berat. Entah apa yang ku rasakan hingga aku benar-benar yakin kalau ia menyembunyikan seseuatu. Tapi, sudahlah. Aku tidak ingin memaksanya untuk menceritakan padaku. Biarlah waktu yang memberitahuku.
Aku melihatnya lagi. Senyum itu. Senyum manis. Ia tersenyum padaku. Membuatku sulit untuk bernafas. Seperti ada yang menyumbat paru-paruku. Jantungku berdetak tak beraturan. Mataku terbelak. Tak ingin aku mengedipkan mataku. Takut. Takut senyuman itu menghikang. Perasaan apa ini? Apakah aku menyukainya? Ah, itu tidak mungkin, aku baru mengenalnya.
"Apakah kau akan membawaku ke tempat ini lagi di lain waktu?". Tanyanya semangat.
"Tentu". Aku tersenyum manis.
Tiba-tiba dengan tenangnya, ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Ia merapatkan tubuhnya hingga semakin dekat dengan tubuhku. Melingkarkan tangannya di tubuhku. Ah, semua ini membuatku bergetar. Deg.. Deg..Seperti ada seseorang yang meninju-ninju dadaku. Semakin sulit aku untuk bernafas. Perasaanku semakin tak karuan. Tapi aku sangat menikmati ini. Tak ingin hari ini cepat berlalu. Tak ingin waktu menelan kebahagiaan hari ini.
***